REFORMASI AGRARIA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN:
KOMENTAR TERHADAP MAKALAH PROFESOR MUBYARTO
Pendahuluan
Profesor Mubyarto berpendapat bahwa jika kita ingin mengadakan pembaruan atau reformasi agraria maka harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Bagi Profesor Mubyarto, sebagian besar kegiatan bertani (farming) di Indonesia bukanlah “business”, melainkan kehidupan (livelihood) dan way of life yang tidak semuanya dapat dibisniskan. Paradigma agribisnis yang dicanangkan Departemen Pertanian saat ini merupakan jiplakan begitu saja apa yang terjadi di Amerika, sama sekali tidak cocok dengan tatanan dan budaya kita. Ini adalah kesalahan para doktor ekonomi pertanian lulusan Amerika yang tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business.
Saya mungkin salah seorang ekonom pertanian lulusan Amerika yang termasuk golongan “tertuduh bersalah” menganut dan menyebarluaskan pemikiran bahwa farming is business karena Profesor Mubyarto dan saya sama-sama alumni Iowa state University, Ames, Amerika Serikat. Sebagai seorang ilmuwan democrat saya yakin Profesor Mubyarto akan bersedia mendengar klarifikasi “sang tertuduh” juniornya ini. Untuk itu saya merasa wajib meminta maaf terlebih dahulu atas kelancangan saya menganut pemikiran yang sangat berbeda dan mengemukakannya secara terbuka di hadapan khalayak ramai.
Saya sependapat dengan Profesor Mubyarto bahwa reformasi agraria harus berarti pembaruan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan. Namun, saya tidak sependapat dengan pandangan beliau bahwa paradigma agribisnis tidak konsisten dengan arah reformasi agraria yang berkerakyatan tersebut. Paradigma agribisnis dapat diadaptasikan dengan kondisi kontekstual Indonesia termasuk dalam perumusan reformasi agraria.
Farming is Livehood
Hemat saya, pendapat Profesor Mubyarto bahwa “bertani tetap merupakan kehidupan (livehood)” tidak berlaku umum danharus tidak boleh dijadikan sebagai arah kebijakan jangka panjang. Bahwa pertanian skala kecil dan buruh tani merupakan kehidupan atau mata pencaharian bagi puluhan juta penduduk Indonesia, saya sangat setuju. Bagi saudara-saudara kita ini, pertanian merupakan salah satu pekerjaan pokoknya, sumber pangan pokoknya, dan sumber pendapatan utamanya agar keluarganya dapat hidup layak dan bermartabat. Ini khususnya benar di pedesaan terpencil dimana alternatif lapangan usaha atau lapangan kerja non-pertanian sangat terbatas atau praktis tidak ada. Bagi mereka, tidak ada alternatif mata pencaharian selain bertani. Bertani adalah untuk kelangsungan hidup.
Namun di banyak daerah pedesaan, yaitu dimana telah berkembang industri atau usaha non-pertanian atau memiliki akses ke perkotaan yang menyediakan alternatif lapangan kerja, bertani bukanlah satu-satunya sumber penghidupan. Ada banyak daerah pedesaan, khususnya di Jawa, dimana sumber utama pendapatan penduduknya adalah usaha non-pertanian. Bertani hanyalah sebagai sumber pendapatan tambahan. Keluarga tani tidak dapat hidup layak jika hanya mengandalkan pertanian.
Justru agenda kegijakan yang paling mendesak ialah bagaimana petani gurem dan buruh tani tidak lagi mengandalkan pertanian sebagai kehidupan keluarganya. Masalah pokoknya ialah luas baku lahan pertanian produktif tidak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga tani. Tutal luas lahan pertanian kurang dari 40 juta hektar sedangkan jumlah keluarga tani lebih dari 20 juta. Sehingga kalaupun lahan yang ada dibagi rata, seluruh usaha tani tetap gurem, tidak memadai untuk menopang kehidupan yang layak bagi keluarga tani.
Mempertahankan bertani tetap menjadi kehidupan petani gurem dan buruh tani berarti membelenggu kaum miskin pedesaan dalam lingkaran setan kemiskinan. Pemikiran macam ini hanya melestarikan involusi pertanian yang berujung pada pemerataan kemiskinan (sharing poverty). Saya kira kita semua, termasuk Profesor Mubyarto, pasti tidak menghendaki hal ini terjadi.
Fenomena semakin bertambahnya penduduk miskin di pedesaan justru akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang mengandalkan bertani sebagai kehidupan. Farming is livelihood adalah akar masalah kemiskinan di pedesaan yang harus diberantas. Kemiskinan di pedesaan hanya dapat diberantas dengan mengurangi jumlah petani gurem dan buruh tani melalui penyediaan livelihood non-pertanian. Dalam hal ini saya setuju dengan Profesor Mubyarto, kekeliruan kita di massa lalu ialah terlalu mendahulukan industrialisasi berbasis eksternal dan terpusat di perkotaan sehingga gagal menjadikan lapangan kerja yang memadai untuk mengurangi tekanan angkatan kerja di sektor pertanian.
Dengan demikian, tantangan kita, pemerintah khususnya, justru bagaimana agar bertani tidak lagi menjadi kehidupan bagi petani gurem dan buruh tani. Untuk itu yang harus dilakukan ialah menyediakan sumber kehidupan alternatif, usaha non-pertanian, yaitu agroindustri dan industri kecil pedesaan lainnya. Dalam konteks inilah, berbeda dengan Profesor Mubyarto, saya melihat pengembangan agribisnis atau pertanian dalam arti luas sungguh tepat. Yang harus dipertanyakan ialah apakah sudah ada program dan kebijakan konkrit untuk menumbuh-kembangkan agribisnis dan industri pedesaan tersebut?
Dalam kaitannya dengan pembaruan agraria, saya sependapat kalau pembaruan penataan agraria harus tetap didasarkan pada pertimbangan bahwa pertanian adalah kehidupan bagi sejumlah besar penduduk pedesaan. Sistem sakap menyakap lahan, misalnya, harus ditata ulang sehingga memberi akses yang lebih mudah dan pembagian hak maupun kewajiban yang lebih adil bagi penggarap. Sementara itu, pembaruan agraria juga harus pula dirancang sehingga mampu mendorong tumbuh-kembangnya agribisnis dan industri kecil di pedessaan agar tekanan penduduk terhadap lahan berkurang. Dengan begitu, jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dapat berkurang.
Farming is Business
Berbeda dengan Profesor Mubyarto, bagi saya, farming skala kecil atau usaha tani gurem pun adalah bisnis. Agribisnis tidak hanya perusahaan pertanian berskala bessar, yang menjanjikan keuntungan sangat besar, seperti PT. QSAR yang sudah bangkrut dan bikin heboh itu. Bagi saya small farming is a business too! Pengertian agribisnis tidak ada hubungannya dengan skala usaha. Asalkan bekerja pada tatanan pasar pertukaran dan berorientasi untuk mengoptimalkan tujuan atau kepuasan, bertani skala besar maupun skala kecil adalah usaha bisnis.
Bahwa pertaniaan gurem juga usaha bisnis dapat diuji dengan fakta berikut: petani gurem membeli sarana produksi dan menjual hasil usahatani, responsif terhadap perubahan harga sarana produksi dan harga hasil usahatani, memilih teknologi dan jenis tanaman (atau ternak, ikan) yang lebih menguntungkan. Banyak studi empiris membuktikan bahwa petani gurem di negara-negara berkembang rasional secara ekonomi. Bagi saya, rasionalitas ekonomi inilah, sudah menjadi ciri dasar suatu usaha bisnis. Tidak dapat terhindarkan, pada sistem perekonomian pasar farming is business.
Dewasa ini, farming is business adalah realita yang harus kita terima. Farming is business tidak meniscayakan argumenfarming is livelihood dan farming is part of culture. Farming is not business hanya ada pada masa silam tatkala penduduk kita hidup subsisten, semua kebutuhan hidup dihasilkan dari pekerjaan sendiri. Farming is not businesstinggal hanya dalam kenangan sejarah peradaban manusia.
Bukti yang paling gamblang bahwa pertanian gurem is business ialah penggunaan buruh tani sewaan dan traktor sewaan oleh petani kecil, petani penyakap dan petani penggarap. Kenapa mereka tidak melulu mengandalkan tenaga kerja keluarga yang mestinya tersedia cukup memenuhi kebutuhan usahatani yang sangat kecil. Jawabannya ialah pertimbangan bisnis.
Saya condong meraba-raba, pendapat Profesor Mubyarto bahwa farmings are not all business lebih merupakan keinginan subyektif beliau daripada gambaran realita. Barangkali keinginan idealistik tersebut berkaitan dengan obsesi beliau agar Indonesia mengadopsi Sistem Ekonomi Paancasila. Namun kita masih menunggu gagasan Profesor Mubyarto untuk mengoperasionalkan konsep yang sungguh indah tersebut. Kata kuncinya ialah etika dan moral bisnis yang tidak mudah disosialisasikan.
Dengan demikian, reformasi agraria hendaklah dirancang antara lain dengan pertimbangan bahwa farming, small and large, are all business enterprises. Pembaruan agraria harus tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap efiiensi usaha tani sebagai bisnis. Sudah barang tentu, efisiensi ekonomi tidaklah segalanya. Pembaruan agraria harus tetap memperhatikan aspek keadilan dan moral seperti yang dipaparkaan oleh Profesor Mubyarto. Saya yakin keadilan tidak selalu bertentangan bahkan dapat sinergis dengan efisiensi ekonomi.
Agribisnis sebagai Paradigma Pembangunan Pertanian
Profesor Mubyarto menolak tegas strategi agribisnis yang oleh para pemimpin Departemen Pertanian diakui sebagai strategi baru yang dianut saat ini. Alasan beliau ialah karena usaha tani kecil yang masih dominan saat ini bukanlah bisnis. Agrobisnis hanyalah ussaha pertanian berskala besar. Strategi pembangunan agribisnis akan menyebabkan perhatian pemerintah bias bagi pengembangan usaha pertanian skala besar, atau berkurangnya perhatian pada petani gurem, penyakap dan penggarap yang kegiatannya, bagi Profesor Mubyarto, bukan bisnis.
Berpegang ada argumen sebelumnya, sekali lagi saya berbeda pendapat dengan Profesor Mubyarto. Usahatani gurem, sakap dan garap adalah juga usaha bisnis sehingga tidak dapaat dijadikan argumen untuk menolak strategi agribisnis yang dicanangkan Depertmenn Pertanian. Masalahnya barangkali bukanlah pada strategi itu sendiri. Kuncinya ialah bagaimana program dan kebijakan operasional pengembangan sistem dan usaha agribisnis tersebut lebih difokuskan bagi pemberdayaan dan pengembangan petani gurem, penyakap dan penggarap tersebut. Inilah yang saya kira perlu kita tuntut dari Departemen Pertanian.
Selain pandangan terhadap sifat farming is a business, dimensi kedua dari paradigma agribisnis ialah pemikiran bahwa bertani atau agriculture tidak bersifat terisolir, bebas dari pengaruh kontekstual off-farm. Paradigma agribisnis berpandangan bahwa usahatani sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan perbankan, dan sebagainya. Saya kira pandangan ini benar adanya. Bukankah anjlognya harga gabah petani karena akibat dari penurunan harga beras dunia dan menguatnya rupiah? Bukankah kasus langkanya pupuk di tingkat petani adalah akibat dari tidak baiknya sistem distribusi?
Jika pemikiran ini dapat diterima maka konsep pembangunan sistem agribisnis sangat kontekstual bagi pertanian di Indonesia. Dalam perspektif agribisnis, reformasi agraria merupakan salah saru operasionalisasi dari penataan sistem agribisnis. Peraturan atau hukum agraria merupakan penunjang dalam sistem agribisnis.
Profesor Mubyarto benar, konsep agribisnis diimpor dari Amerika. Konsep ini pada awalnya digagas oleh Profesor Goldberg dan Davis, keduanya warga Amerika, berdasarkan studi kasus Amerika. Tetapi apakah kita harus fobi dengan semua yang impor, termasuk ilmu pengetahuan? Barangkali yang perlu kita gugat ialah apakah konsep tersebut cocok untuk konteks Indonesia, kalau tidak apa alternatif yang lebih sesuai atau bagaimana mengadaptasikannya sehingga pas dengan permasalahan yang kita hadapi.
Penutup
Berbeda dengan Profesor Mubyarto, bagi saya agenda pokok bukanlah meninjau ulang konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis yang telah dicanangkan Departemen Pertanian sebagai strategi pembangunan pertanian saat ini. Yang kita tunggu-tunggu ialah program dan kebijakan komprehensif ebagai operasionalisasi dari konsep dan strategi tersebut. Termasuk dalam hal ini format reformasi agraria yang bagaimanakah yang dapat mewujudkan operasionalisasi konsep tersebut. Namun dalam hal prinsip dasar bahwa reformasi agraria harus menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan saya sangat sependapat dengan Profesor Mubyarto.
Strategi yang lebih tepat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan ialah dengan mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan atau mengurangi jumlah petani melalui penyediaan lapangan kerja alternatif di sektor non-pertanian. Fungsi pertanian sebagai kehidupan harus dikurangi. Untuk itu pengembangan agribisnis dalam arti luar di pedesaan merupakan langkah yang tepat.
Reformasi agraria mutlak perlu untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Termasuk dalam hal ini antara lain: kepastian kepemilikan lahan yang menjadi salah satu faktor resiko usaha pertanian saat ini, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian. Sayang, issu-issu ini tidak sempat dibahas Profesor Mubyarto.
Dr. Pantjar Simatupang, Pusat Agro-Ekonomi (PAE), Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Makalah diskusi panel "Pembaruan Agraria", Departemen Pertanian, Hotel Salak, Bogor, 11 September 2002.
MAU LEBIH LAGI INFORMASINYA KLIK DI :
www.yayasangurungajiindonesia.com
MAU LEBIH LAGI INFORMASINYA KLIK DI :
www.yayasangurungajiindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar